HUKUM MERIWAYATKAN DAN MENGAMALKAN HADIST-HADIST DHA'IF
UNTUK FADHAA-ILUL A'MAL (KEUTAMAAN AMAL)
TARGHIB DAN TARHIB DAN LAIN-LAIN
Dalam membahas masalah ini saya bagi menjadi dua bagian :
PERTAMA
Menjelaskan beberapa kesalahan dan kejahilan dalam memehami perkataan sebagian ulama tentang mengamalkan hadist dhaif untuk fadhaa-ilul a'mal :
1. Kebanyakan dari mereka menyangka bahwa masalah mengamalkan hadist-hadist dhaif untuk fadhaa-ilul a'mal atau targhib dan tarhib tidak ada khilaf lagi - tentang bolehnya- diantara para ulama. Inilah persangkaan yang jahil. Padahal , kenyataannya justru sebaliknya.
Yakni telah terjadi khilaf diantara mereka para ulama sebagaimana diterangkan secara luas di dalam kitab-kitab musthalah . dan menurut mazhab Imam Malik , Syafi'I , Ahmad bin Hambal , Yahya bin Ma'in, Abdurahman bin Mahdi , Bukhari , Muslim , Ibnu Abdil Baar , Ibnu Hazm dan para imam ahli hadist lainnya , mereka semua TIDAK MEMBOLEHKAN beramal dengan hadist dhaif SECARA MUTLAK meskipun untuk fadhailul a'mal dan lain-lain. Tidak syak lagi inilah mazhab yang haq. Karena tidak ada hujjah kecuali hadist-hadist yang telah tsabit dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam . Cukuplah saya turunkan perkataan Imam Syafi'I :" idza shohhal hadistu fahuwa mazhabiy" apabila telah sah suatu hadist . maka itulah mazhabku.
2. Mereka memahami bahwa mengamalkan hadist dha'if itu untuk menetapkan (itsbat) tentang suatu amal. Baik mewajibkan , menyunatkan (mustahab) , mengharamkan atau memakruhkannya meskipun tidak datang nash dari Al kitab dan As Sunnah .
Seperti mereka telah menetapkan dengan hadist-hadist dha'if beberapa macam shalat sunat dan ibadah lainnya yang sama sekali tidak ada dalil shahih dari As Sunnah secara tafsil (terperinci) yang menerangkan tentang sunatnya. Kalaupun demikian pemahaman mereka dalam mengamalkan hadist-hadist dha'if untuk fadhaailul a'mal.
Allahumma ! Memang demikianlah yng selama ini mereka amalkan. Maka, jelaslah bahwa mereka telah menyalahi ijma ulama sebagaimana diterangkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Karena barang siapa yang menetapkan (istbat) tentang sesuatu amal yang tidak ada nashnya dari al Kitab dan As Sunnah baik secara jumlah (garis besarnya) dan tafsil atau secara tafsil (rinci) saja, maka sesungguhnya ia telah membuat syariat yang tidak diizinkan oleh Allah Jalla wa 'Alaa.
Kepada mereka ini , Imam Syafi'I , telah memperingatkan dengan perkataannya yang masyhur :"man istahsana faqod syaro'a" - barang siapa yang menganggap baik (istihsan) - yakni tentang suatu amal yang tidak ada nash dan Sunnah - maka sesungguhnya ia telah membuat syariat baru !!!! Semoga Allah merahmati Imam Syafi'I yang terkenal dikalangan salaf sebagai naashirus sunnah (pembela sunnah).
Ketahuilah! Bahwa yang dimaksud oleh sebagian ulama boleh beramal dengan hadist-hadist dho'if untuk fadhail a'amal atau targhib dan tarhib , ialah apabila yelah datang nash yang shahih secara tafsil (rinci) yang menetapkan tentang suatu amal - baik wajib, sunat,haram atau makruh- kemudian datang hadist-hadist dho'if (yang ringan dho'ifnya) yang menerangkan tentang keutamaannya (fadha'il a'mal) atau targhib dan tarhib dengan syarat hadist-hadist tsb tidak sangat dho'if atau maudhu' (palsu), maka inilah yang dimaksud.
3. Salah faham dengan perkataan Imam Ahmad bin Hambal dan ulama salaf lainnya yang semakna perkataannya dengan beliau yang menyatakan :
"Apabila kami meriwayatkan dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam tentang halal, haram , sunan (sunat-sunat) dan ahkam, KAMI KERASKAN (yakni kami periksa dengan ketat) sanad-sanadnya. Dan apabila kami meriwayatkan dari nabi shalallahu alaihi wa sallam tentang FADHA ILUL A'MAL dan tidak menyangkut hukum dan tidak marfu' (tidak disandarkan kepada beliau shalallahuu alaihi wa sallam ) KAMI PERMUDAH di dalam (memeriksa) sanad-sanadntya. (shahih riwayat Imam Al Khatib al Bhagdhadi dikitabnya al kifaayah fi ilmir riwaayah hal 134)
Perkataan Imam Ahmad diatas diriwayatkan juga oleh Imam-imam yang lain (banyak sekali) tetapi tanpa tambahan : dan yang tidak marfu . Maksudnya : Riwayat-riwayat mauquf (yakni perkataan dan perbuatan shahabat) atau riwayat-rwayat dari tabi'in dan atha'ut taabi'in. Kebanyakan dari mereka dalam memahami perkataan Imam Ahmad diatas, bahwa BELIAU MEMBOLEHKAN mengamalkan hadist-hadist dha'if untuk fadha ilul a'mal !!
Jelas sekali , pemahaman diatas keliru bila ditinjau dari beberapa sudut ilmiah, diantaranyaa ialah :" bahwa yang dimaksud oleh Imam Ahmad bin Hambal dengan tasahul (bermudah-mudah) dalam fadha ilul a'mal ialah hadist-hadist yang DERAJATNYA HASAN (bukan hadist-hadist dha'if meskipun ringan kelemahannya). Karena , hadist pada zaman beliau dan sebelumnya tidak terbagi kecuali menjadi 2 bagian : SHAHIH dan DHA'IF.
SEDANGKAN HADIST DHA'IF TERBAGI PULA MENJADI 2 BAGIAN
PERTAMA : hadist-hadist dha'if yang ditinggalkan , yakni tidak dapat diamalkan atau dijadikan hujjah.
Kedua : Hadist-hadist dha'if yang dipakai, yakni dapat diamalkan atau dijadikan hujjah .
Yang terakhir ini kemudian dimasyhurkan dan ditetapkan sebagai salah satu bagian dari derajat hadist oleh Imam Tirmidzi dengan istilah HADIST HASAN. Jadi , Imam Tirmidzi yang PERTAMA KALI membagi derajat hadist menjadi bagian : SHAHIH , HASAN dan DHA'IF.
Demikianlah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qoyyim dan para ulama lainnya.
KEDUA
Menjelaskan kesalahan mereka yang TIDAK PERNAH memenuhi syarat-syarat yang telah dibuat oleh sebagian ulama dalam mengamalkan hadist dha'if untuk fadha ilul a'mal atau targhib dan tarhib.
Ketahuilah !! Sesungguhnya ulama-ulama kita yang TELAH MEMBOLEHKAN beramal dengan hadist-hadist dha'if di atas , telah membuat BEBERAPA PERSYARATAN yang SANGAT BERAT dan KETAT. Persayaratan tsb tidak akan dapat dipenuhi kecuali oleh mereka (ulama) yang membuatnya atau ulama-ulama yang memiliki kemampuan sangat tinggi dalam ilmu hadistnya (para muhadist).
Dibawah ini saya turunkan sejumlah persyaratan yang telah dibuat oleh para ulama kita Kemudian , saya iringi dengan beberapa keterangan yang sangat berfaedah. Insya Allahau ta'ala.
1. Syarat pertama
Hadist tersebut khusus untuk fadhailul amal atau targhib dan tarhib. Tidak boleh untuk aqidah atau ahkam (spt hukum halal, haram ,wajib, sunat , makruh) atau tafsir Qur'an. Jadi , seorang yang akan membawakan hadist-hadist dho'if , terlebih dahulu HARUS MENGETAHUI mana hadist dha'if yang MASUK bagian fadha ilul a'mal dan mana hadist
dha'if yang masuk bagian aqidah atau ahkam.
Tentu saja persyaratan pertama ini CUKUP BERAT dan tidak sembarang orang dapat mengetahui perbedaan hadist-hadist dha'if diatas kecuali mereka YANG BENAR-BENAR AHLI HADIST.
Kenyataannya, kebanyakan dari mereka (khususnya kaum KHUTOBAA'- para penceramah / khotib) tidak mampu dan telah melanggar persyaratan pertama ini.
Berapa banyak hadist-hadist dho'if tentang aqidah dan ahkam yang mereka sebarkan melaului mimbar-mimbar dan tulisan-tulisan.!!!!
2. Syarat kedua
Hadist tersebut TIDAK SANGAT DHOIF apalagi MAUDHU' , BATIL , MUNGKAR dan Hadist-hadist yang TIDAK ADA ASALNYA.
Yakni, yang boleh dibawakan hanyalah hadist-hadist yang ringan (kelemahannya). Persyaratan kedua ini LEBIH BERAT dan SULIT dibandingkan dengan syarat yang pertama. Karena, untuk mengetahui suatu hadist itu derajatnya SHAHIH , HASAN, DHA'IF ringan , sangat DHA'IF , dst.
Bukanlah pekerjaan yang mudah sebagaimana telah dimaklumi oleh mereka yang faham betul dengan ilmu yang mulia ini.
Pekerjaan tsb merupakan yang sangat berat sekali yang hanya dapat dikerjakan oleh para AHLI HADIST yang benar-benar ahli. Dan persyaratan kedua inipun DILANGGAR besar-besaran . Berapa banyak hadist yang batil dan mungkar , sangat dha'if , maudhu' ,dan tidakada asalnya yg mereka sebarkan dengan lisan maupun tulisan.
Anehnya orang-orang jahil ini kalau dinasehati oleh ahli ilmu dengan cepat mereka menjawab :"Dibolehkan untuk Fadha ilul a'mal". Lihatlah betapa sempurnanya kejahilan mereka !!!
3. Syarat ketiga
Hadist tsb TIDAK BOLEH DI-I'TIQODKAN (diyakini) sebagai sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam sebab bisa terkena ancaman beliau : yakni berdusta atas nama beliau. (Dapat dibaca tulisan saya : Ancaman berdusta atas nama Nabi Shalallahu alaihi wa sallam). Persyaratan ketiga ini SAMA SEKALI tidak dapat dipenuhi, yang membawakan dan mendengarkan betul-betul MENYAKINI sebagai sabda Nabi shalallahu alaihi wa sallam
4. Syarat keempat
Hadist tsb harus mempunyai dasar yang umum dari hadist yang shahih . Persyaratan yang ke-4 ini selain susah dan lagi-lagi mereka tidak dapat memenuhinya, juga apabila TELAH ADA hadist yang shahih untuk apalagi segala macam hadist-hadist yang dha'if.
5. Syarat ke-5
Hadist tsb TIDAK BOLEH DIMASYHURKAN (DIPOPULERKAN). Menurut Imam ibnu
Hajar rahimahulllah , apabila hadist-hadist dha'if itu dipopulerkan, niscaya akan terkena ancaman berdusta atas nama nabi Shalallahu alaihi wa sallam.
Lihatlah ! Ramai-ramai mereka menyebarkan dan mempopulerkan hadist-hadist dha'if , sangat dha'if , bahkan maudhu' sehingga umat lebih mengenal hadist-hadist tsb daripada hadist shahih. Innalillahi wa inna ilahi rooji'un !! Alangkah terkenanya mereka dengan ancaman nabi Shalallahu alaihi wa sallam.
6. Syarat ke-6
Wajib memberikan bayan (PENJELASAN) bahwa hadist tersebut dha'if saat menyampaikan atau membawakannya. Kalau tidak , niscaya mereka terkena kepada kepada ancaman menyembunyikan ilmu dan masuk ke dalam ancaman Nabi Shalallahu alaihi wa sallam :" Ancaman berdusta atas nama Nabi Shalallahu alaihi wa sallam".
Demikian ketetapan para muhaqiq dari ahli hadist dan ulama ushul sebagaimana diterangkan oleh Abu Syaamah (baca Tamaamul minnah : Al Bani hal :32)
Inilah hukum orang yang "diam", tidak menjelaskan hadist-hadist dha'if yang ia bawakan untuk fadhailul a'mal.
Maka bagaimana dengan orang yang "diam" terhadap riwayat-riwayat yang bathil , sangat dha'if, atau maudhu untuk fadhailul a'mal ??? Benarlah para ulama kita - rahimahumullah- bahwa mereka terkena ancaman menyembunyikan ilmu dan berdusta atas nama nabi shalallahu alaihi wa sallam.
7. Syarat ke-7
Dalam membawakannya TIDAK BOLEH menggunakan lafadz-lafadz jazm (yang menetapkan) seperti :"Nabi shalallahu alaihi wa sallam telah bersabda atau mengerjakan sesuatu atau memerintahkan dan melarang dan lain-lain yang menunjukkan ketetapan atau kepastian bahwa Nabi Shalallahu alaihi wa sallam BENAR-BENAR bersabda dst.
Tetapi wajib menggunakan lafadz TAMRIDH (yaitu lafadz yang TIDAK MENUNJUKKAN sebagai sesuatu ketetapan) , seperti :
Telah diriwayatkan dari Nabi shalallahu alaihi wa sallam dan yang serupa dengannya dari lafadz tamridh sebagaimana telah dijelskan oleh imam Nawawi dalam muqoddimah kitabnya al majmu'syarah muhadzdzab (1/107) dan para ulama lainnya.
Persyaratannya yang terakhir ini , selain mereka tidak memiliki kemampuan , juga tidak bisa dipakai lagi pada jaman kita sekarang (dimana ilmu hadist sangat gharib / asing sekali).
Karena kebanyakan dari ahli ilmu sendiri (kecuali ahli hadist) teristimewa kaum khutobaa / para khatib dan orang awam tidak dapat membedakan antara lafadz jazm dan tamridh.
Dikutip dari risalah :
Berhati-Hati Dalam Meriwayatkan Hadist Nabi Shallahu Alaihi Wa Sallam Dan Beberapa Kesalahan Dalam Meriwayatkan Dan Hukum Meriwayatkan Dan Mengamalkan Hadist-Hadist Dhaif Untuk Fadhaa-Ilul A'mal , Tagrib Dan Tarhib Dan Lain-Lain
Maraaji' :
1) Al Muhalla (1/2) Ibn Hazm
2) Al-Fash fil-milal wal-ahwaa wan-nihal (2/222) Ibn Hazm , tahqiq Doktor muhammad Ibrahim Nashr dan Doktor Abdurrahman 'Umairah.
3) Al-Majmu' Syarah Muhadz-dzab (1/101 dan 107) imam Nawawi.
4) Majmu' Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (18/23-25 dan 65-66 dan 249, 1/250-252)
5) A'laamul Muwaqi'in (1/31-32) Ibnul Qayyim.
6) Al-Kifaayah fil-ilmir-riwaayah (hal: 133 dan 134) Imam Al Khatib al Bhagdadi.
7) Al-Madkhal (hal :29) Imam Hakim.
8) Muqaddimaha Ibnu Shallah (hal : 49) Imam Ibnu Shalah.
9) An-Nukat 'ala Kitabi Ibnu Shalah (2/887-888) Ibnu Hajar
10) Tadribur-raawi (1/298-299) Imam As Suyuthi
11) Al-Qaulul- Badii'fish Shalaati alal Habibisy-Syafi'I (hal : 258-260 akhir kitab) Imam As Shakhaawiy.
12) Qawwwa'idut tahdist (hal :113-121) Al Qaasimi.
13) Taujihun Nazhar ila Ushulil Aatsar (hal 297)
14) Al I'thishom (1/224-231) Imam Syaathibiy , tahqiq 'Allamah Sayyid Rasyid Ridha.
15) Ikhtishar 'Ulumul Hadist (hal : 90-92) Ibnu Katsir tahqiq Ahmad Syakir.
16) Muqoddimah al Adzkar (hal : 5-6) Imam Nawawi
17) Tamaamul Minnah (hal : 32-40) al Albani
18) Muqoddimah Shahih Jami'us Shaghir (1/44-51) Al Albani
19) Muqoddimah Dho'if Jami'us Shaghir (1/44-51) Al Albani
20) Silsilatul AhaadistAdh Dha'ifah wal Maudhu'ah (3/21-26) al Albani
21) 21. Muqaddimah Shahih Targhib , Al Albani.
Penulis : Ustadz Abdul Hakim Abdat
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
****************************************************************************************************
HUKUM MERIWAYATKAN HADITS-HADITS DHAIF UNTUK FADHAILUL A'MAL, TARGHIB DAN TARHIB
Sebagian dari kaum muslimin menyangka bahwa masalah mengamalkan hadits-hadits dhai'if untuk fadhaa-ilul a'mal atau targhib dan tarhib tidak ada khilaf lagi -tentang bolehnya- diantara para ulama. Inilah persangkaan yang jahil. Padahal, kenyataannya justru kebalikannya, yakni telah terjadi khilaf diantara para ulama sebagaimana diterangkan secara luas di dalam kitab-kitab mushthalah. Dan menurut madzhab Imam Malik, Syafi'i, Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma'in, Abdurrahman bin Mahdi, Bukhari, Muslim, Ibnu Abdil Bar, Ibnu Hazm dan para imam ahli hadits lainnya, mereka semuat tidak membolehkan beramal dengan hadits dha'if secara mutlaq meskipun untuk fadhaa-ilul a'mal. Tidak syak lagi inilah madzhab yang haq. Karena tidak ada hujjah kecuali dari hadits-hadits yang telah tsabit dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Cukuplah perkataan Imam Syafi'i rahimahullahu ta'ala:
"Apabila telah shah sesuatu hadits, maka itulah madzhabku."
Adapun yang dimaksud oleh sebagian ulama bahwa boleh beramal dengan hadits-hadits dhai'if untuk fadhaa-ilil amal atau tarhib dan targhib ialah apabila telah datang nash yang shahih secara tafshil yang menetapkan (itsbat) tentang sesuatu amal, baik wajib, sunat, haram atau makruh, kemudian datang hadits-hadits dhai'if (yang ringan dha'ifnya) yang menerangkan tentang keutamaannya (fadhaa-ilul a'mal) atau tarhib dan targhibnya dengan syarat hadits-hadits tersebut tidak sangat dha'if atau maudhu' (palsu) maka inilah yang dimaksud oleh sebagian ulama: boleh beramal dengan hadits-hadits dha'if untuk fadhaa-ilul a'mal atau targhib dan tarhib. Akan tetapi para ulama yang membolehkan tersebut telah membuat beberapa persyaratan yang sangat berat dan ketat.
Syarat pertama: hadits tersebut khusus untuk fadhaa-ilul a'mal atau targhib dan tarhib, tidak boleh untuk akidah atau ahkaam atau tafsir Qur-an. Jadi seseorang yang akan membawakan hadits-hadits dha'if terlebih dahulu harus mengetahui mana hadits dha'if yang masuk bagian fadhaail dan mana hadits dha'if yang masuk bagian akidah atau ahkaam.
Syarat kedua: hadits tersebut tidak sangat dha'if apalagi hadits-hadits maudhu', bathil, mungkar dan hadits-hadits yang tidak ada asalnya. Untuk membawakannya seseorang harus dapat membedakan derajat hadits-hadits tersebut. Dan ini tidak dapat dilakukan kecuali oleh orang-orang yang ahli dalam hadits.
Syarat ketiga: hadits tersebut tidak boleh diyakini sebagai sabda Nabi shalallahu 'alaihi wasallam.
Syarat keempat: hadits tersebut harus mempunyai dasar yang umum dari hadits shahih
Syarat kelima: hadits tersebut tidak boleh dimasyhurkan (diangkat ke permukaan sehingga dikenal umat). Imam Ibnu Hajar rahimahullahu ta'ala mengatakan bahwa apabila hadits-hadits dhai'if itu dimasyhurkan niscaya akan terkena ancaman berdusta atas nama Nabi shalallahu 'alaihi wasallam.
Syarat keenam: wajib memberikan bayan (penjelasan) bahwa hadits tersebut dha'if saat menyampaikan atau membawakannya.
Syarat ketujuh: dalam membawakannya tidak boleh menggunakan lafadz-lafadz jazm (yang menetapkan), seperti: 'Nabi shalallahu 'alaihi wasallam telah bersabda' atau 'mengerjakan sesuatu' atau 'memerintahkan dan melarang' dan lain-lain yang menunjukkan ketetapan atau kepastian bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wasallam benar-benar bersabda demikian. Tetapi wajib menggunakan lafadz tamridh (yaitu lafadz yang tidak menunjukkan sebagai suatu ketetapan). Seperti: 'Telah diriwayatkan dari Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam' dan yang serupa dengannya dari lafadz tamridh sebagaimana telah dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam muqodimah kitabnya al majmu'syarah muhadzdzab (1/107) dan para ulama lainnya.
Jadi demikianlah, kita hendaklah tidak memudah-mudahkan meriwayatkan suatu hadits sampai kita yakin betul bahwa hadits tersebut benar-benar shahih dan apabila kita hendak membawakan hadits dha'if untuk fadhaa'ilul a'mal maka perhatikan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ulama kita seperti telah disebutkan di atas. Wallahu a'lam.
Rujukan: Majalah As-Sunnah No.03/Th.I Rajab 1413H, hal. 5-9.
Diedit ulang : Abdul Kholiq S
********************************************************************************************
HUKUM MERIWAYATKAN HADIST MAUDLU'/PALSU
Oleh
Abdul Hakim bin Amir Abdat
________________________________________
"Man haddatsaa 'annii (wafii riwaayatin : man rawaa 'annii) bihadiitsiy-yura (wafii lafdzin : yara) annahu kadzibbin, fahuwa ahadul-kadzibiina
(wafii lafdzin :al-kadzibayini)"
"Barangsiapa yang menceritakan dariku (dalam riwayat yang lain : meriwayatkan dariku) satu hadist yang ia sangka (dalam satu lafadz : yang ia telah mengetahui) sesugguhnya hadits tersebut dusta/palsu, maka ia termasuk salah seorang dari para pendusta (dalam satu lafadz : dua pendusta)"
TAKHRIJUL HADITS
Hadits ini derajadnya SHAHIH dan MASYHUR sebagaimana diterangkan oleh Imam Muslim di muqaddimah shahihnya (1/7).
Dan telah diriwayatkan oleh beberapa shahabat :
1. Samuroh bin Jundud
Dikeluarkan oleh Imam-imam : Muslim (1/7), Ibnu Majah (No. 39) Ahmad (5/20), Ath-Tahayalis di musnadnya (Hal : 121 No. 895), Ath-Thahawi di kitabnya : Al-Musykilul Atsar" (1/75), Ibnu Abi Syaibah di mushannafnya (8/595), Ath-Thabrani di kitabnya "Al-Mu'jam Kabir" (7/215 No. 6757), Ibnu Hiban (No. 29) dan di kitabnya "Adl-Dlu'afaa" (1/7) dan Al-Khatib Baghdadi di kitabnya "Tarikh Baghdad" 4/161).
2. Mughirah bin Syu'bah
Dikeluarkan oleh Imam-imam : Muslim (1/7), Ibnu Majah (No. 41), Tirmidzi (4/143-144 di kitabul ilmi), Ahmad 94/252,255), Ath-Thayalis (Hal : 95 No. 690), Ath-Thahawi di "Musykil" (1/175-176), Ibnu Hibban di kitabnya "Adl-Dlua'afaa" (1/7).
3. Ali bin Abi Thalib
Dikeluarkan oleh Imam-imam : Ibnu Majah (No. 38 & 40), Ibnu Abi Syaibah (8/595), Ahmad (1/113) dan Ath-Thahawi (1/175) di kitabnya "Musykilul Atsar").
Lafadz hadits dari riwayat Imam Muslim dan lain-lain, dan riwayat yang kedua (man rawa 'anni) dari mereka selain Muslim. Berkata Tirmidzi : Hadist Hasan Shahih.
LUGHOTUL HADITS :
Lafadz (yara) ada dua riwayat yang shahih.
1. Dengan lafadz "yura" didlomma huruf "ya" nya, maknanya "zhan" atinya : Ia sangka.
"Yakni : Hadits tersebut baru ia "sangka-sangka" saja sebagai hadits palsu/maudlu, kemudian ia meriwayatkannya juga, maka ia termasuk kedalam ancaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas".
2. Dengan lafadz "yara" di fat-ha "ya" nya, yang maknanya "yu'lamu", artinya : Ia telah mengetahui.
"Yakni : Hadits tersebut telah ia ketahui kepalsuannya, baik ia mengetahuinya sendiri sebagi ahli hadits atau diberitahu oleh Ulama ahli Hadits, kemudian ia meriwayatkan/membawakannya tanpa memberikan bayan/penjelasan akan kepalsuannya, maka ia termasuk ke dalam kelompok pendusta hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam".
Demikian juga lafadz "alkadzibiina" terdapat dua riwayat yang shahih :
1. Dengan lafadz "alkadzibiina" hurup "ba" nya di kasro yakni dengan bentuk jamak. Artinya : Para pendusta.
2. Dengan lafadz "alkadzibayina" hurup "ba" nya di fat-ha yakni dengan bentuk mutsanna (dua orang). Artinya : Dua pendusta. [Syarah Muslim : 1/64-65 Imam Nawawi]
SYARAH HADITS
Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : (Barangsiapa yang menceritakan/meriwayatkan dariku satu/sesuatu hadits saja), yakni baik berupa perkataan, perbuatan taqrir,atau apa saja yang disandarkan orang kepada Nabi Shallahu 'alaihi wa sallam, apakah menyangkut masalah-masalah ahkam (hukum-hukum), aqidah, tafsir Qur'an, targhib dan tarhib atau keutamaan-keutamaan amal (fadlaa-ilul a'mal), tarikh/kisah-kisah dan lain-lain. (Yang ia menyangka/zhan) yakni sifatnya baru "zhan" tidak meyakini (atau ia telah mengetahui) baik ia sebagai ahli hadits atau diterangkan oleh ahli hadits (sesungguhnya hadits tersebut dusta/palsu), kemudian ia meriwayatkannya dengan tidak memberikan penjelasan akan kepalsuannya, (maka ia termasuk salah seorang dari pendusta/salah seorang dari dua pendusta) yakni yang membuat hadits palsu dan ia sendiri yang menyebarkannya.
Berkata Imam Ibnu Hibban dalam syarahnya atas hadits ini di kitabnya "Adl-Dlu'afaa" (1/7-8) : "Di dalam kabar (hadits) ini ada dalil tentang sahnya apa yang telah kami terangkan, bahwa orang yang menceritakan hadits apabila ia meriwayatkan apa-apa yang tidak sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, apa saja yang diadakan orang atas (nama) beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan ia mengetahuinya, niscaya ia termasuk salah seorang dari pendusta".
Bahkan zhahirnya kabar (hadits) lebih keras lagi, yang demikian karena beliau telah bersabda: "Barangsiapa yang meriwayatkan dariku satu hadits padahal ia telah menyangka (zhan) bahwa hadits tersebut dusta". Beliau tidak mengatakan bahwa ia telah yakin hadits itu dusta (yakni baru semata-mata zhan saja). Maka setiap orang yang ragu-ragu tentang apa-apa yang ia marfu'kan (sandarkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam), shahih atau tidak shahih, masuk kedalam pembicaraan zhahirnya kabar (hadits) ini". (baca kembali keterangan Nawawi di Masalah ke 2).
Saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) berkata : Hadits ini mengandung beberapa hukum dan faedah yang sangat penting diketahui :
1. Berdasarkan hadits shahih di atas dan hadist-hadits yang telah lalu dalam Masalah ke-2, maka Ulama-Ulama kita telah IJMA' tentang haramnya -termasuk dosa besar- meriwayatkan hadits-hadits maudlu' apabila ia mengetahuinya tanpa disertai dengan bayan/penjelasan tentang kepalsuannya.Ijma Ulama di atas menjadi hujjah atas kesesatan siapa saja yang menyalahinya. (Syarah Nukhbatul Fikr (hal : 84-85). Al-Qaulul Badi' fish-shalati 'Alal Habibisy Syafi'(hal : 259 di akhir kitab oleh Imam As-Sakhawi). Ikhtisar Ibnu Katsir dengan syarah Syaikh Ahmad Syakir (hal : 78 & 81) Qawaa'idut Tahdist (hal : 150 oleh Imam Al-Qaasimiy).
2. Demikian juga orang yang meriwayatkan hadits yang ia sangka (zhan) saja hadits itu palsu atau ia ragu-ragu tentang kepalsuannya atau shahih dan tidaknya, maka menurut zhahir hadits dan fiqih Imam Ibnu Hibban (dan Ulama-ulama lain) orang tersebut salah satu dari pendusta. Menurut Imam Ath-Thahawiy diantara syarahnya terhadap hadits di atas di kitabnya "Musykilul Atsar" (1/176) : "Barangsiapa yang menceritakan (hadits) dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan dasar ZHAN (sangkaan), berarti ia telah menceritakan (hadits) dari beliau dengan tanpa haq, dan orang yang menceritakan (hadits) dari beliau dengan cara yang batil, niscaya ia menjadi salah seorang pendusta yang masuk kedalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :"Barangsiapa yang sengaja berdusta atas (nama)ku, hendaklah ia mengambil tempat tinggalnya di neraka". (baca kembali hadits-hadit tersebut di Masalah ke 2).
3. Bahwa orang yang menceritakan kabar dusta, termasuk salah satu dari pendusta, meskipun bukan ia yang membuat kabar dusta tersebut (Nabi SAW telah menjadikan orang tersebut bersekutu dalam kebohongan karena ia meriwayatkan dan menyebarkannya.
4. Menunjukkan bahwa tidak ada hujjah kecuali dari hadits-hadits yang telah tsabit (shahih atau hasan) dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
5. Wajib menjelaskan hadits-hadist maudlu'/palsu dan membuka aurat (kelemahan) rawi-rawi pendusta dan dlo'if dalam membela dan membersihakn nama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tentu saja pekerjaan yang berat ini wajib dipikul oleh ulama-ulama ahli hadits sebagai Thaaifah Mansurah.
6. Demikian juga ada kewajiban bagi mereka (ahli hadits) mengadakan penelitian dan pemeriksaan riwayat-riwayat dan mendudukan derajad-derajad hadits mana yang sah dan tidak.
7. Menunjukkan juga bahwa tidak boleh menceritakan hadits dari Rasulullah SAW kecuali orang yang tsiqah dan ahli dalam urusan hadits.
8. Menunujukan juga bahwa meriwayatkan hadits atau menyandarkan sesuatu kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bukanlah perkara yang "ringan", tetapi sesuatu yang "sangat berat" sebagaimana telah dikatakan oleh seorang sahabat besar yaitu Zaid bin Arqam [Berkata Abdurrahman bin Abi Laila : Kami berkata kepada Zaid bin Arqam : " Ceritakanlah kepada kami (hadits-hadits) dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam !. Beliau menjawab : Kami telah tua dan (banyak) lupa, sedangkan menceritakan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sangatlah berat ". (shahih riwayat Ibnu Majah No. 25 dll)]. Oleh karena itu wajiblah bagi setiap muslim merasa takut kalau-kalau ia termasuk salah seorang pendusta atas nama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan hendaklah mereka berhati-hati dalam urusan meriwayatkan hadits dan tidak membawakannya kecuali yang telah tsabit dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menurut pemeriksaan ahli hadits.
9. Dalam hadits ini (dan hadits yang lain banyak sekali) ada dalil bahwa lafadz "hadits" dan maknanya telah ada ketetapan langsung dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sabda beliau :"Barangsiapa yang menceritakan/meriwayatkan dariku satu HADITS....yakni : Segala sesuatu yang disandarkan kepadaku, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir dan lain-lain, maka inilah yang dinamakan hadits atau sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam".
10. Menunjukan juga bahwa hadits apabila telah tsabit dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik hadits mutawatir atau hadits-hadits ahad, menjadi hujjah dalam aqidah dan ahkam (hukum-hukum) dan lain-lain. Demikian aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, dan tidak ada yang membedakan dan menyalahi kecuali ahlul bid'ah yang dahulu dan sekarang. Adapun ahlul bid'ah yang dahulu mengatakan (menurut persangkaan mereka yang batil) : Tidak ada hujjah dalam aqidah dan ahkam kecuali dengan hadits-hadits mutawatir !?. Demikian paham yang sesat dari sekelompok kecil Mu'tazilah dan Khawarij. Sedangkan ahlul bid'ah zaman sekarang mengatakan (menurut persangkaan mereka yang batil) : Untuk ahkam dengan hadits-hadits ahad, sedangkan untuk aqidah tidak diambil dan diyakini kecuali dari hadits-hadits mutawatir.
Kalau ditaqdirkan pada zaman kita sekarang ini tidak ada lagi orang yang memalsukan hadits (walaupun kita tidak menutup kemungkinannya), tetapi tidak sedikit bahkan banyak sekali saudara-saudara kita yang membawakan hadits-hadits yang batil dan palsu. Tersebarlah hadits palsu itu melalui mimbar para khotib, majelis-majelis dan tulisan di kitab-kitab dan majalah-majalah yang tidak sedikit membawa kerusakan bagi kaum muslimin. Innaa lillahi wa inna ilaihi raaji'un !
0 komentar:
Posting Komentar